Pembuat Kwa Cah (Peti Mati Cina)
Antara Tradisi, Bisnis dan Sosial.
Catatan: Ali Yustono
Kebijakan pemerintah untuk melestarikan lingkungan dan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia dengan menertibkan sejumlah pengusaha perambah hutan liar serta pemberantasan peredaran kayu tanpa izin (illegal loging) dibeberapa kawasan hutan Sumatera, dampaknya sangat dirasakan tidak saja bagi kalangan “industri papan atas” yang menjadikan kayu sebagai produk utama olahan-nya, sejumlah industri kecil dan menengah pun merasakan dampaknya.
Kalau dulu, untuk memperoleh kayu balok (loging) yang berkwalitas super, mungkin kita tinggal pilih dan pesan, tergantung selera, tapi saat ini, jangankan untuk memilih, bisa memperoleh kayu jenis sembarang saja sudah patut disyukuri. Salah satu industri kecil yang hasil produksi-nya memerlukan kayu sebagai bahan baku produknya adalah usaha pembuatan Peti Mati milik Siaw Liang warga Jl Prof DR Hamka Kelurahan Bulian Kecamatan Rambutan Tebingtinggi.
Mungkin saat ini, produk peti mati tradisionil cina model keranda (kwa cah) yang dibuat dengan menggunakan kayu balok (kayu gelundungan) diukir serta memiliki bentuk khas seperti kuntum bunga yang sedang mekar hanyalah tinggal kenangan saja. Sebab untuk memproduksi peti mati model keranda tersebut, selain diperlukan kayu balok yang cukup besar dan langka, saat ini juga tentu sangat mahal harganya.
Bagi Siaw Liang yang telah menekuni usaha ini sejak tahun 1983, selain mempertahankan tradisi yang merupakan bisnis keluarga turun temurun sejak dari almarhum ayah-nya (A Sin) yang wafat tahun 1975 dan dilanjutkan dengan almarhum abang-nya yang wafat pada tahun 1983, kegiatan usaha ini juga dimanfaatkannya dalam rangka bakti sosial kemasyarakatan. “Mungkin sudah menjadi keharusan bagi kami untuk melanjutkan bisnis keluarga yang memang sudah menjadi tradisi turun temurun dari orang tua, saya tidak tahu persis kapan ayah saya memulai usaha ini, namun yang pasti,sudah berlangsung cukup lama, mungkin dimulai sekitar tahun lima puluhan lalu” kenang Siaw Liang saat ditemui dikediamannya beberapa waktu lalu.
Meski usaha-nya telah berjalan puluhan tahun dan telah memproduksi ratusan buah peti mati dengan berbagai model dan ukuran, kendala utama yang dialami suami dari A Lina ini tak lain adalah dalam hal pengadaan bahan baku kayu. “Kami selalu terbentur dengan pengadaan bahan bakunya, selain harganya cukup mahal juga sangat sulit didapat. Kalau dari kilang, kayu besar (balok) tidak ada, jadi kami membeli (pesan) bahan kayu dikilang yang sudah berupa papan lebar dan panjang, bahan baku kayu yang digunakan untuk membuat peti mati saat ini adalah kayu sembarang keras seperti kayu durian dan meranti” ungkapnya.
Ada beberapa jenis dan model peti mati yang dibuat-nya saat ini, mulai dari harga yang murah hingga berharga mahal, “Semua tergantung model, yang paling mahal adalah peti mati model Singapura seharga sekitar Rp 7 hingga Rp 8 juta,- sedangkan peti mati yang model biasa berharga sekitar Rp 700 ribu,- hingga Rp 800 ribu,-“ terang Siaw Liang.
Namun begitu, ayah lima anak ini mengaku tidak mematok harga peti mati-nya, “Harga tersebut sebenarnya relatif, tergantung pemesanan dan kemampuan dari si-pembeli, mengingat usaha ini lebih bernuansa sosial ketimbang bisnis, apa bila ada warga yang benar-benar tidak mampu untuk membeli peti mati buat keluarga-nya yang meninggal, maka kita akan menyumbangkannya secara sosial dan sukarela” ungkap Siaw Liang.
Untuk membuat sebuah peti mati model biasa, Siaw Liang yang mempekerjakan dua orang karyawan ini mengaku bisa diselesaikan dalam tiga hari, sedangkan untuk membuat peti mati model Singapura dibutuhkan waktu antara 5 hari hingga satu minggu, sebab pengerjaannya harus benar-benar bermutu dan berkwalitas, selain halus dan kilat, peti mati model Singapura hasil rumah produksi-nya ini juga cukup kuat. Dalam satu bulan Siaw Liang mengaku bisa membuat 7 hingga 8 peti mati, dan setelah selesai pengerjaannya, sebagian peti mati yang sudah selesai tersebut dipajang (disimpan) di
Yayasan Sosial Hang Kang di Jalan Teri Kelurahan Badak Bejuang Kecamatan Rambutan Tebingtinggi dan sebagian lagi dijual kepada pemesan yang langsung datang kelokasi pembuatannya.
Meski mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pihak pemerintah kota mengingat usaha-nya ini lebih condong pada kegiatan yayasan sosial saja, Siaw Liang merasa berbesar hati, sebab selain produk-nya dibutuhkan tidak saja untuk kalangan etnis Tionghoa (beragama Budha), pemesan juga ada yang berasal dari warga Kristiani.**.
Penulis adalah wartawan Harian Medan Bisnis.
KESEHATAN
HIV, SEKS DAN KONDOM
Oleh : J. Parlin Sitanggang
Juminten (bukan nama sebenarnya), perempuan 29 tahun dengan 6 orang anak, benar benar syok ketika dokter menyatakan suaminya menderita HIV – AIDS. Juminten tidak pernah menyangka kalau suaminya ( yang menurutnya adalah suami baik-baik ) akan terkena penyakit yang menakutkan itu .
Awalnya suaminya menderita demam lebih dari 1 bulan, mencret–mencret serta dijumpai bercak putih di lidah dan sekitar mulut. Setelah mendapat perawatan disebuah klinik dan tidak menunjukkan perbaikan, akhirnya dibawa kerumah sakit yang lebih baik. Dari hasil konseling yang dilakukan oleh tim Voluntary counseling and testing (VCT) diketahui pasien mempunyai riwayat kontak dengan PSK berulang ulang (tanpa sepengetahuan istrinya dan tanpa pengaman). Dokter lalu menganjurkan pemeriksaan test HIV dan hasilnya positif. Satu hal yang sangat ditakutkan oleh juminten, apakah dia juga sudah terinfeksi virus HIV tersebut.
HIV – AIDS
HIV singkatan dari “Human Immuno deficiency virus”. merupakan retrovirus yang menyerang sel sistim kekebalan tubuh manusia (terutama CD4,dan macrophages, komponen utama sistim kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadi penurunan sistim kekebalan tubuh secara terus menerus. Akibatnya tubuh menjadi rentan terhadap berbagai infeksi yang tidak lajim dijumpai pada orang yang sistim kekebalan tubuhnya baik.
AIDS adalah singkatan dari ” Acquired Immuno deficiency syndrom”. AIDS menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait menurunnya sistim kekebalan tubuh akibat infeksi HIV.
Penyebab
Penyebab dari HIV– AIDS adalah virus HIV yang masuk ketubuh melalui Hubungan seksual berisiko Kontaminasi patogen melalui darah Penularan masa perinatal
Laporan Departemen Kesehatan terhitung 1 januari 1987 sampai 30 september 2009 jumlah kumulatif penderita AIDS sebanyak 18.442 kasus dan kumulatif penderita infeksi HIV 28.260 kasus. Total orang dengan HIV–AIDS (ODHA) 46.702 kasus, sementara kasus meninggal 3708 kasus. Jumlah ini bukankah gambaran kasus yang sebenarnya karena kasus HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. Angka ini hanya menggambarkan situasi di permukaan, sementara kasus yang tidak terdata jauh lebih besar. Estimasi Departemen Kesehatan ada sekitar 300.000 ODHA
Moral VS Medis
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antara individu yang salah satunya terkena HIV. Berbagai organisasi kesehatan menganjurkan pendekatan ”ABC” untuk menurunkan resiko terkena HIV melalui hubungan seksual.
Tiga pilar utama pencegahan penularan lewat hubungan seks adalah :
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan Seks bagi
mereka yang belum menikah).
B = Befaithful (bagi Pasangan suami Isteri tidak melakukan
seks extra marital).
C = Condom (Bagi pria maupun wanita yang melakukan
hubungan seks tidak aman) .
Penggunaan kondom yang lazim mengurangi penularan HIV sampai dengan 80% dalam jangka panjang. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah anjuran penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV pada hubungan seksual yang berisiko masih mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sebagian kelompok masyarakat mengecam anjuran penggunaan kondom. Anjuran ini dianggap melegalkan prostitusi di indonesia. Terlepas dari pro dan kontra penggunaan kondom, Depkes melaporkan tingginya angka penularan HIV melalui hubungan seksual berisiko, sebesar 53% ( lihat tabel ).
Tingginya angka ini, membuat kian rentannya kalangan populasi kunci. Populasi kunci adakah perempuan pekerja seksual, waria, pelanggan pekerja seksual, homoseksual serta pengguna napza suntik. Diperkirakan ada sekitar 8,2 juta pria pelanggan seks, 233.000 perempuan pekerja seks. Yang dikhawatirkan tidak hanya kelompok ini yang rentan terhadap penularan HIV, tetapi juga pasangan mereka, begitu juga ibu rumah tangga baik-baik yang tertular dari suaminya. Kalau ibu tersebut hamil, kemungkinan bayi yang dilahirkan juga akan tertular virus HIV.
Melihat data-data diatas, barangkali penolakan terhadap penggunaan kondom pada hubungan seksual beresiko perlu dipikir ulang. Penggunaan kondom bukan berarti melegalkan pelacuran. Kita semua sependapat bahwa moral yang baik adalah kunci utama dalam penanggulangan HIV – AIDS. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata dengan data-data seperti disebut diatas.
Secara garis besar, penanganan HIV–AIDS meliputi dua aspek. Aspek biomedis dan aspek perilaku. Aspek biomedis adalah tanggung jawab orang kesehatan, sedang aspek perilaku tanggung jawab kita bersama,apakah itu tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM, mahasiswa atau pelajar. Apabila kedua aspek ini bekerja bersinergi tentu saja kasus HIV – AIDS bisa ditekan, sehingga korban hususnya, ibu rumah tangga baik baik serta bayi bayi yang tidak berdosa dapat diperkecil. Sudah saatnya silang pendapat mengenai penggunaan kondom untuk kasus berisiko untuk diakhiri.
Penulis adalah Dr.Spesialis ParuRSUD K.Pane & Pemerhati HIV-AIDS
KESEHATAN
DEMAM TIFOID (TIFUS)
Oleh : Devi Chairani Hasibuan S.Kep
(Mahasiswi Program Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan USU)
Pengertian
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. (Darmowandowo, 2006)
Penyebab
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. (Ashkenazi et al, 2002)
Gejala
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma. (Darmowandowo, 2006)
Pengobatan dan Perawatan
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. (Mansjoer, 2001)
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. (Department of Health and human service, 2004)
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department of Health and human service, 2004) (red: berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar