Rabu, 14 April 2010

Cerpen Dari Kamu





DI BALIK KECEMASAN
Oleh: Sierra Fatiha


Gemetar… Takut… Cemas… Pusing… Itulah yang menderaku sekarang. Aku merasa sangat-sangat sulit untuk memulai. Entah apa yang membuatku merasa seperti itu. Anehnya, semua perasaan itu muncul ketika aku akan memulai untuk menulis skripsiku. Seperti ada perasaan ganjil, sangat ganjil yang datang. Yang kuartikan sebagai, gemetar, takut, cemas, dan pusing. Semua itu berkumpul menjadi satu. Bayangkan saja, semua jadi satu.
Ah, maka kubuka saja laptop butut pemberian pamanku dan membaca-baca e-book yang ku-download beberapa hari yang lalu. Aku men-download banyak buku dari page yang terdapat dalam facebook-ku. Aku dapat banyak buku gratis dan aku senang. Aku senang karena aku suka membaca dan aku juga suka menulis. Aku menulis sangat banyak puisi dan telah merampungkan 1 judul cerita dengan 21 subjudul yang ceritanya keseluruhan tentang susah senangnya kehidupan anak kos. Tapi semua itu hanya koleksi pribadiku saja. Hanya tersimpan save di laptopku saja. Paling hanya teman-teman kosku yang iseng-iseng senang membaca cerita itu.
“San, makan siang yuk!” Itu suara Firman, teman satu kosku.
“Ntar, aku shut down dulu.” Kataku sambil menggerakkan jari untuk men-shutdown laptop.
Ketika membuka dompet. Yang kudapati tinggal satu lembar uang limapuluh ribu. Seketika aku tersadar. Tinggal itu uang yang aku punya saat ini. Padahal bulan depan masih 20 hari lagi. Ah, tak bisa kusalahkan bapak yang bulan ini tidak mengirimkan uang kepadaku. Aku anak pertama dengan lima orang adik yang masih membutuhkan banyak biaya untuk masuk SD, SMP dan SMU. Ayahku hanya seorang petani dengan sepetak sawah, sedangkan ibuku berjualan lontong di pagi hari. Seorang adik perempuan yang dua tahun di bawahku malah sekarang jadi buruh cuci untuk mengumpulkan uang sambil menunggu giliran untuk bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Rencananya dia akan bisa melanjutkan kuliah setelah aku selesai.
Sekarang kudapati diriku sedang terduduk di atas tempat tidur dengan menggenggam uang terakhir yang kupunya.
“San, ih, kok termenung Kau? Ayolah. Aku udah lapar.” Kata Firman tak sabar.
“Mmm… Kau duluan ajalah. Nanti aku nyusul. Aku tadi dapat SMS dari Etekku. Aku disuruh ke rumahnya sekarang. Ma’af ya.” Kataku berbohong. Pantang bagiku memperlihatkan kesusahanku di depan teman. Bukan mau angkuh, Kawan. Tapi aku tau benar sifat Firman, dia tak akan segan-segan membantuku selagi dia sanggup dan itu yang akan membuatku sangat tidak enak hati.
“O, ya udahlah. Aku pigi ya!”

Aku memang berbohong tentang SMS itu, tapi aku tidak berbohong tentang pergi ke rumah Etek. Aku berjalan kaki menempuh jarak 8 km. Aku harus menghemat. Ah, mudah-mudahan sampai di sana Etek ada di rumah dan dia menewari aku makan siang. Itulah harapanku dalam hati. Medan yang luar biasa panas tak menyurutkan langkahku.
Tiba di depan rumah Etek aku bunyikan bel. Dan seseorang membuka pintu. Oh, syukurlah ternyata Etek ada di rumah.
“Eh, San. Masuk sini. Nggak dikunci kok pagarnya.”
Fiuhh…aku lega sudah berada di rumah Etek yang dingin. Tapi Etek tak boleh tau kalau aku berjalan kaki ke rumahnya.
“Apakmu sedang makan itu. Etek juga mau makan. Ayo gabung.” Madu. Kata-kata Etek memberiku harapan yang membara.
Tanpa ragu-ragu kulangkahkan kakiku ke ruang makan. Di sana sudah ada Apak dan si kecil Rini yang sedang makan. Apak tersenyum ramah padaku.

Sekarang aku sudah berada di kos lagi. Aku pulang diantar Apak setelah sholat isya dan setelah mendapat berbagai pencerahan mengenai skripsiku dan tentang betapa besar dana yang harus kukeluarkan untuk semua itu. Bagian terakhir itu semakin membuatku cemas. Untuk sekarang ini saja aku hanya punya uang 50 ribu rupiah yang dengan susah payah kubiarkan utuh. Bagaiman nanti? Aku harus segera wisuda karena adikku harus segera melanjutkan kuliah dan agar aku segera bekerja untuk membantu ekonomi orang tuaku. Tapi uang dari mana? Mana tega aku mendesak Bapak di saat seperti ini. Apa aku harus jual HP bututku ini? Ah, bagaimana nanti Bapak mau menghubungiku atau sebaliknya. Atau laptop pemberian Apak? Tidak mungkin. Dia memberikan laptop model lama itu untuk memudahkan skripsiku. Ah, betapa jahatnya kalau sampai aku menjual benda itu. Meminjam dari Etek dan Apak? Tidaaaaaaakkkkk…Bapak akan membunuhku kalau aku sampai melakukan itu. Bapak paling tidak suka mengeluh tentang keadaannya pada siapapun apalagi merepotkan mereka, termasuk pada adik iparnya sendiri. Dahulu saat tau kalau Apak memberi aku laptop muka Bapak jadi merah padam karena dikiranya aku meminta-minta pada Apak. Aku harus menjelaskan sepanjang siang pada Bapak bahwa Apaklah yang berinisiatif untuk memberikannya kepadaku. Bukan aku yang memintanya.
Apakah ini sebenarnya sumber dari segala perasaan ganjil dalam diriku itu? Aku telah mendengar banyak dari kakak-kakak stambukku di kampus dan telah melihat sendiri bahwa menyusun skripsi dan sekalian menyelesaikannya itu tidak mudah. Semua serba butuh tenaga, pikiran, perasaan, dan uang. Uang akan keluar lebih banyak jika pembimbing kita adalah tipe yang apabila kurang sesajen maka jangan harap dia akan memperdulikan kita, dan yang paling senang adalah jika memiliki pembimbing yang tidak perlu sesajen karena mereka punya prinsip, maka uang tidak akan banyak terkuras. Sayangnya, aku punya pembimbing tipe pertama. Hah... nasib… nasib….
Dan sekaranglah saatku untuk mengalaminya. Dan sebelum itu aku harus memikirkan jalan yang terbaik untuk bisa melewati semua itu. Mungkin aku akan …
“San.” Ada yang menegurku. Itu Firman lagi. Dia mendatangiku yang termenung di teras depan kos kami.
“Kanapa kau? Kayaknya ada yang nggak beres. Ceritalah sama aku.” Bujuk Firman.
“Ah, nggak ada.” Kataku mengelak. “Aku cuma rindu rumah aja. Udah lama nggak pulang.”
“Gitu ya... Eh, san, ada yang mau kutunjukkan sama kamu. Ini kejutan.” Katanya sok misterius.
“Apa?” Mau tidak mau aku jadi penasaran juga. Jarang-jarang ada yang mengatakan “kejutan” padaku.
“Sebentar ya.” Firman lalu masuk ke dalam untuk beberapa saat lalu kembali lagi membawa 2 buah buku dan duduk di sebelahku.
“San, pertama-tama aku mau minta ma’af.” Eh, aku heran, katanya kejutan, dan tadi dia kelihatan senang, tapi kok jadi minta ma’af dengan wajah penuh penyesalan begitu? “Ma’af kalau aku terkesan lancang, tapi aku cuma mau membantu teman.” Aku semakin penasaran.
“Ada apa sebenarnya, Fir?” kataku mulai tak sabar.
Firman lalu memberikan dua buah buku yang tadi dia pegang padaku. Kubaca judulnya 141 in Action (cerita anak kos yang nomor rumah kosnya 141). Aku merasa sangat familiar dengan judul ini. Dan kulihat buku yang satunya lagi. Buku kumpulan puisi yang tebalnya kira-kira setebal buku tulis isi 100 lembar. Dan judulnya Keluh. Aku mulai curiga. Lalu kubaca pengarangnya. Hasan Al Farabi. Astaghfirulloh… Kepalaku tiba-tiba pusing melihat semua ini.
“i, ini maksudnya apa, Fir?” tanyaku heran.
“Itulah yang mau aku bilang sama kamu, San. Enam bulan yang lalu aku udah lancang mengkopi naskah puisi sama naskah ceritamu diam-diam terus kukirim sekalian sama naskah novelku sendiri pada abang sepupuku yang kerja di perusahaan penerbitan di Jakarta. Kebetulan setelah mereka baca semua naskah itu mereka merasa karya kita layak terbit, mereka lalu mencetaknya jadi buku-buku seperti ini. Bukuku juga ada. Nanti aku kasi liat.” Aku hanya bisa ternganga mendengar penjelasan Firman. Tak pernah kubayangkan semua ini. “O iya, aku juga mencuri nomor rekeningmu. Jadi karena kata abangku buku-bukumu sudah masuk cetakan kedua kayaknya kamu musti udah ngecek ATM mu sekarang. Mana tau udah nggak muat lagi rekeningmu itu karena banyaknya uang yang udah masuk. Hehehe.”
“Udah cetakan kedua? Jadi bukuku laris?” Tanyaku.
“Sangat.” Jawabnya.
“Bukumu sendiri?”
“Bukuku juga laris tapi tak selaris buku-bukumu, Kawan.”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Mungkin inilah pertolongan Allah padaku. Alhamdulillah. Terima kasih ya Alloh. Engkau Maha Besar. Tak terasa aku terharu sampai air mata menetes. Kurangkul erat Firman sambil mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.
Aku tak pernah berpikir untuk menjadi seorang penulis yang bukunya dibaca banyak orang. Seseorang seperti Andrea Hirata, Gola Gong, Helvy Tiana Rosa, dan yang lainnya. Ah, belum tentu aku bisa sehebat mereka. Tapi saat ini perasaanku melambung tinggi.
Dan apakah hasil dari honor penjualan buku itu nanti yang akan membantuku untuk membiayai skripsiku hingga selesai? Begitukah? Ah, aku tidak sabar menceritakan semua ini pada pada keluargaku. Pada Bapak, Ibu, dan adik-adikku. Ya Allah. Sekarang kecemasan itu berkurang setengah. Ternyata ada kejutan di balik semua kecemasan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar